Langsung ke konten utama

God isn't Testing me, God is Kidding Me



“Life becomes worthless when there’s nothing to live or die for…”

It’s 7th November 2015.

Hari ini aku menjalani hidup versi menyebalkan. The other one. Versi yang sangat melekat dengan identitasku. Versi gadis umur 20-an yang bahkan bingung dengan menu sarapannya. Bukan karena aku pilih-pilih makanan, tetapi karena benar-benar tidak ada yang dimakan.

Dua hari yang lalu, ayahku menyuruhku pulang. Beliau memintaku untuk membelikan beberapa obat pribadi. Honestly, saat itu aku benar-benar tidak memegang uang sama sekali. Uang terakhirku mendarat di SPBU. Ada yang lebih ‘lapar’ daripada perutku. So, aku meminjam teman sepermainanku. Ayahku berjanji akan mengembalikannya jika aku pulang. Okay, that’s the deal.

Then, aku pulang. As always keadaan rumah kacau balau. And there’s no food there. So, aku harus membeli sesuatu semacam ‘makanan’ untuk diriku. Aku tidak tahu, sejak kapan rumah kami beralih funggsi. Menjadi bangunan tua tanpa jiwa. Bahkan sedikitpun tanpa rasa kemanusiaan di dalamnya, walau aku yakin siapapun yang tinggal di sana masih bertittle sebagai manusia. For sure.

Tetapi, what happened next? Ayahku, yang beberapa hari lalu kedapatan memiliki banyak uang (entah darimana beliau mendapatkannya) tiba-tiba secara dramatis mendeklarasikan bahwa semua uangnya telah habis. Oops. Sudah lebih dari  cukup untuk menjelaskan bahwa ‘aku hanya akan kembali ke tempat kosku dengan tangan hampa’.

In the following day, aku kembali ke tempat kosku. Menyelesaikan beberapa pekerjaan yang belum selesai. Hanya berbekal uang 10 ribu di saku celana kusamku. Yang pada akhirnya juga mendarat di tempat pengisian bahan bakar. And, I have nothing.

Sebelum berangkat sebenarnya aku berkata kepada kakak perempuanku. Aku berkata kalau aku sama sekali tidak memegang uang. Dia tidak bisa mengusahakan banyak. Dia juga mengalami hal yang sama. Dan aku paham. Aku tidak mungkin membebaninya.

Aku menelfon ibukku. Beliau juga tidak bisa mengusahakan apapun. Keluarga kami masih banyak terjerat hutang atau semacamnya. How tragic? Lalu, malam itu tepat pukul 18.12 aku berangkat menuju tempat kosku. Di sepanjang perjalanan aku menikmati apapun yang tersisa untuk aku nikmati.

Deep down in my heart I feel upset. To my father. Bukan masalah beliau yang tidak give me the money back, tapi beliau tahu aku akan kelaparan. How could he do this to me? Where’s the sense in that? Is it call family? To help each other? Let me say that this is killing each other.

Bukan hanya sekali ini aku menjalani kehidupan semacam ini. Tiga hari yang lalu aku sempat tidak makan satu hari. And that’s okay. Aku sepertinya harus lebih banyak membiasakan hal semacam ini terjadi kepadaku.
LOL

Tuhan sedang melatihku untuk mengendalikan rasa lapar. So that aku akhirnya belajar untuk makan sehari satu kali. Lemas di awal hari tapi aku bisa mensiasatinya dengan bangun agak telat. Percayalah bahwa bangun lebih awal akan membuat perut seseorang semakin lapar. Strategi semacam itulah yang aku terapkan dalam hidupku untuk menangani masalah yang satu ini.

Dan sampailah pada hari ini. Hari sabtu. Dan aku hanya memiliki beras mentah. Aku memasaknya menjadi nasi lantas menggorengnya sebagai menu sarapan pukul 11.34. Like I said, aku harus bangun lebih telat untuk menahan rasa laparku.

Aku mempersiapkan satu gelas teh manis hangat untuk menemani hari yang hujan. It was a beautiful day, wasn’t it?

I still believe that this is a beautiful day. Whatever my condition right now. How hard I have to deal with this.

And all of sudden, my best friend deliver some foods. Yap, she really has no idea kalau aku sedang bergelut dengan well …… rasa laparku ini.

See? Tuhan masih menyayangiku hari ini. Dan stok makanan masih cukup untuk hari esok. Hari esoknya lagi aku pikirkan nanti.

I just wanna lay in my bed while thinking on how great what God has done to me. Mungkin saat ini Tuhan sedang ingin mengajakku bercanda, dengan mengelitiki perutku supaya aku tertawa. I know it.

So, aku sudah terbiasa dengan hal semacam ini. Dan, akan selalu terbiasa. Sampai aku berhasil menemukan sebuah label kehidupan yang lebih pantas. Setidaknya untuk keluargaku.

Thanks God. And Thanks Deara for your meal.


Regards,

Rosalie.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari ini kita tidak ada bedanya..

Hari ini. Hari dimana sebuah kata menjelma segumpal peluk hangat dan secangkir manisnya persaudaraan. Hari ini. Hari dimana seorang aku ternyata bukan hanya sebatas aku, tetapi tentang apapun itu yang menggantung di pundakku hingga kuku tanganku kaku karena membeku. Tidak seburuk itu, karena hidup ini bukan skripsi, jadi tidak ada revisi. Tidak seperti yang kau pikir di otak bebalmu itu, karena hidup ini memang tidak semudah itu.  Hari ini, lagi kumaknai hari dimana siapapun berhak memiliki dan berjuang atas nama sesuatu. Mobil mewah, apartemen megah, suami setia atau apapun yang mereka sebut cita-cita. Tidak ada batas, tidak ada beda. Kamu, yang menjadikanku pemilih dalam hidup. Pemilih atas sesuatu yang telah aku tentukan sebelumnya, akhirnya aku memilih jalanku. Jalanku yang kau bilang berliku. Tetapi kau selalu memegang pundakku dari jauh. Jangan sampai terjatuh, karena aku bahkan tidak bisa membedakan mana jurang mana jalan.   Itulah kau, yang kusebut nyawa baru bag...

Paket Mimpi

They said "Follow your dreams!". But, if my dreams broke into thousand pieces. Which one I should follow? “Makan, yuk?” tanyaku sambil menjepit smartphone di antara bahu dan telinga kananku. Bastian Faldanu, nama pria yang tertera di layar smartphone Sonyku. “Makan dimana?” tanyanya sambil menguap. Kebiasaan. Jam segini baru bangun. Batinku terkekeh.  “Biasanya aja?” aku balik bertanya sambil membereskan file-file mengajarku dan memasukkannya ke tas ransel. Hap. Beres.  “Jangan deh. Padang, yuk?” tawarnya.  “Okay. Aku jemput ya, bentar lagi berangkat.” Ucapku sambil mengakhiri pembicaraan di telfon. Pagi itu, oh mungkin agak siangan. Pukul 10.30, aku bergegas mengendarai kendaraanku ke arah tempat kos sahabatku. Sangat cepat. Takut keburu kres dengan waktu mengajar privatku.  Tidak lama kemudian, pria itu keluar dari pagar kosnya dengan menggunakan celana pendek abu-abu dan polo shirt warna merah maroon. Dan, sebagai tambahan saja. Dia...