Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2014

Tuliskan sendiri judulnya

Mungkin ini yang disebut rasa, sedikit tetapi cukup. Cukup membuat hati penuh di terasnya, bukan di dalamnya. Mungkin memang iya. Namun, beberapa ke-iya-an itu seringkali tersamar oleh ke-tidak-an yang kejam. Tuliskan sendiri judulnya. Karena aku tidak ingin menggiringmu. Aku tak mau mendahului dan menuntunmu. Tuliskan sendiri judulnya. Karena aku tak mau mencampuri rasamu. Rasamu rasamu, bukan rasa rasaku. Karena aku tidak mau mengajakmu singgah di pelataran takdirku. Aku hanya mempersilahkan, jika-jika kamu bersedia. Itu saja. Tuliskan sendiri judulnya. Karena aku tidak ingin menatap mata bulat itu secara detail. Aku takut bola mata itu memancarkan gemerlap yang akan menyinariku. Tidak, aku tidak mau seperti itu. Matamu itu, biarlah indah seperti itu. Aku tidak akan menatapnya. Karena aku bukan pemandangan yang bagus untuk mata indahmu. Tuliskan sendiri judulnya. Antara kau dan aku. Antara benang merah yang terkait hingga membentuk kalimat...

Kita tidak sedang seperti itu...

Kita tidak sedang menyerah lalu merapuh pada puing-puing masa lalu yang megah, kita hanya sejenak memperkuat otot hati. Karena untuk berjalan, kita memerlukan hati yang lebih tangguh dari ini. Kita memerlukan tekad yang lebih berani dari ini. Kita tidak sedang saling menyalahkan perjalanan atau peta yang justru menyesatkan kita. Kita hanya mencoba menikmati jalan yang kita pilih, yang kita tentukan sendiri. Kita hanya sedang mengumpulkan sisa-sisa kegembiraan yang akan kita jadikan terapi untuk tangis kita di kala yang lain terlelap.

Cerita 7 Februari 2014

Kau memilih berhenti dan menyerah. Aku pun tidak. Sebisaku menghadapi badai yang datangnya entah dari belahan hati sebelah mana. Jika memang hilang dan menjadi tiada adalah pilihan terbaik, maka aku tak pernah memilihnya. Sampai kapanpun. Sampai kau sadar, senja sampai kapanpun masih mengantar malam. Sama seperti raga ini. Persis. Untukmu yang secara elegan dan memukau melangkahkan kaki meninggalkan tubuh mungil ini. Untukmu yang secara dramatis mengumbar luka dengan taburan air mata yang mulai kering. Untukmu yang secara cepat terbang dengan relativitas massa yang sempurna. Untukmu, masih untukmu. Untukmu, masih kamu. Untukmu, sampai aku tidak akan menyebut kata kamu di bibirku. Tapi di setiap sujudku kepada Tuhanku. (Partner In Crime)

Suatu hari di bahari....

Tak ada pengaruhnya tindakan ini pada sepucuk kemungkinan, karena mentari pun akan terbenam. Tetap saja mengadu pada dinginnya malam sampai dinginnya menguliti pikirku. Sama sekali tidak ada pengaruhnya pada seucap kata ini karena waktu tak pernah sekalipun menunggu. Lalu, harus terus berjalan dan pura-pura tidak mendengar, pura-pura tidak merasakan. Meskipun kenyataan pada akhirnya akan menang di ujung persimpangan. Lalu tahapku hanya sampai melalui dan merasakan atmosfer kekecewaan yang semakin keras tertawa. Sudahlah, mari kita duduk sejenak, menikmati bahari dan aroma kopi merk-ku sendiri. Karena esok, lusa, dan seterusnya akan datang badai yang mungkin dapat mengoyakkan ilusi dalam hitungan nano second. Mari menikmati kekecewaan ini dengan senyuman. Lalu kita hamburkan bersama anai-anai di musim semi nanti.

Jadi, seperti inilah kita

Kita hanyalah lakon dalam dunia yang penuh warna kelabu hingga merah pucat. Kita hanyalah seonggok bentuk lain dari tragedi yang porak poranda akibat semesta yang menerbangkan kabar duka sampai ke seberang. Kita hanyalah pelaku yang mengunduh file dan membaca script tanpa harus melakukan adegan berbahaya dengan stunmant. Kegilaan otak kita kadang menghamburkan kenyataan bahwa apa yang ada saat ini adalah sebotol minuman yang hanya tersisa beberapa tetes. Tidak ada krat-krat besar berisi wine seperti yang sering kita lihat di gudang penyimpanan milik tetangga sebelah. Bodohnya, kadang kita justru terlena pada sisi lain dari dunia yang menampilkan bayangan bias lewat pantulan cermin. Yang kita lihat bukan sepenuhnya kanan atau kiri, karena kita hanya melihat dari satu sisi. Bukan maksud Tuhan tidak adil atau malaikat yang salah menyampaikan paket lantaran angka kode pos pada dua digit terakhir terhapus oleh kotoran burung. Hanya saja kita telah terikat kontrak kehidupan dengan al...

Hari ini kita tidak ada bedanya..

Hari ini. Hari dimana sebuah kata menjelma segumpal peluk hangat dan secangkir manisnya persaudaraan. Hari ini. Hari dimana seorang aku ternyata bukan hanya sebatas aku, tetapi tentang apapun itu yang menggantung di pundakku hingga kuku tanganku kaku karena membeku. Tidak seburuk itu, karena hidup ini bukan skripsi, jadi tidak ada revisi. Tidak seperti yang kau pikir di otak bebalmu itu, karena hidup ini memang tidak semudah itu.  Hari ini, lagi kumaknai hari dimana siapapun berhak memiliki dan berjuang atas nama sesuatu. Mobil mewah, apartemen megah, suami setia atau apapun yang mereka sebut cita-cita. Tidak ada batas, tidak ada beda. Kamu, yang menjadikanku pemilih dalam hidup. Pemilih atas sesuatu yang telah aku tentukan sebelumnya, akhirnya aku memilih jalanku. Jalanku yang kau bilang berliku. Tetapi kau selalu memegang pundakku dari jauh. Jangan sampai terjatuh, karena aku bahkan tidak bisa membedakan mana jurang mana jalan.   Itulah kau, yang kusebut nyawa baru bag...

Aku ingin pulang......

Pulang. Aku ingin pulang dan menghambur pelukan yang hangat pada siapapun yang kusebut “dia”. Aku ingin pulang dan meletakkan semua kesedihan pada karung kumal untuk kusembunyikan di gudang penyimpanan. Biar tikus dan kecoa menghancurkannya perlahan. Perlahan hingga tanpa sisa, tanpa bekas sedikitpun. Aku lupa arah yang membawaku ke jalan dimana aku kecil adalah Putri Kecil. Aku mungkin akan pulang membawa luka yang lebih parah dari sebelumnya. Tapi aku tidak akan terlihat begitu menyedihkan. Hanya saja aku akan datang dengan kemasan yang berbeda. Menyembunyikan sedikit memar yang tampak. Menyuguhkan senyum manja. Seperti yang sudah-sudah, aku akan mengangkat tinggi-tinggi kepalaku dan tidak akan menunduk lagi.    Pulang. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan roti buatan bunda atau cerita pendek ayah sepulang kerja. Sudah lama hingga aku sadar selama ini aku hanya ditemani nyamuk-nyamuk yang putus harapan. Atau kotak-kotak indah yang dalamnya ternyata hanyalah s...

Rindu

Ada rindu yang hanya tanggal secarik tulisan usang. Yang menatapku lekat-lekat di kamar 4x4 dengan harap yang tak lagi hidup. Sudah lama mati. Rindu itu menjelma malam yang dingin yang pasrah dijajah pagi, menjelma awan hitam yang kelihatannya kuat tetapi ketika disentuh hanyalah gantungan asap yang rapuh. Rindu itu semrawut, tidak tertata dengan indah seperti buku cokelat yang kuhadiahkan sebagai kado ulangtahun pada seseorang.  Rindu itu kacau. Semakin kau tahan, semakin manja dan tak tahu diri. Mungkin, di antara aku dan kamu, ada pesan yang belum tersampai. Ada naskah yang belum sempat diketik ulang, ada banyak proposal yang belum sempat ditantangani, dan ada ribuan kata yang belum sempat dideklarasikan. Lalu, jika pagi datang dengan senyumnya, aku mengingat segala ucapan semangat dan selamat pagi yang dulu sering membanjiri kotak masuk phonecellku hingga penuh sesak. Tapi seiring dewasanya pagi, semuanya sepi. Hening. Alam seakan tidak mau berisik karena tak...

Aroma Kopi

Aku membaca lagi. Aku mengingat lagi. Lampu jalan yang berkelip enggan, rambut basah yang tampak indah, dan cerita usang tentang kopi dan cokelat panas. Tentang apa yang akan kau pesan di kedai kopi kesayanganmu. Sayangnya, ada waktu yang harus kau tunggangi hingga kau mendapatkan kembali aroma kopimu. Meski kau tak akan pernah mampu membayarnya karena kepuasan tertinggi tentang secangkir kopi adalah sebuah kenikmatan tiada tanding. Ketika semua itu hilang, kopi hanyalah sebuah minuman hambar tanpa merk komersil dan tanpa daya tarik. Di kedai itu. Ada manusia mungil yang menanti dengan sabar. Entah sabar baginya adalah kosa kata macam apa. Apakah magis yang menjelma menjadi setan? Ataukah magic yang menyamar menjadi malaikat? Baginya sabar tidak ada batasnya. Meski sunggingan ketabahan hati itu sudah sampai di ujung, di tepian peradaban, hingga butuh satu sentuhan lembut untuk bisa lumpuh kemudian jatuh. Dan hilang. Selamanya. Kamu mulai menghitung, berapa banyak cangkir y...