Langsung ke konten utama

Hari ini kita tidak ada bedanya..


Hari ini. Hari dimana sebuah kata menjelma segumpal peluk hangat dan secangkir manisnya persaudaraan. Hari ini. Hari dimana seorang aku ternyata bukan hanya sebatas aku, tetapi tentang apapun itu yang menggantung di pundakku hingga kuku tanganku kaku karena membeku. Tidak seburuk itu, karena hidup ini bukan skripsi, jadi tidak ada revisi. Tidak seperti yang kau pikir di otak bebalmu itu, karena hidup ini memang tidak semudah itu. 

Hari ini, lagi kumaknai hari dimana siapapun berhak memiliki dan berjuang atas nama sesuatu. Mobil mewah, apartemen megah, suami setia atau apapun yang mereka sebut cita-cita. Tidak ada batas, tidak ada beda. Kamu, yang menjadikanku pemilih dalam hidup. Pemilih atas sesuatu yang telah aku tentukan sebelumnya, akhirnya aku memilih jalanku. Jalanku yang kau bilang berliku. Tetapi kau selalu memegang pundakku dari jauh. Jangan sampai terjatuh, karena aku bahkan tidak bisa membedakan mana jurang mana jalan.  Itulah kau, yang kusebut nyawa baru bagi diriku yang lain. Yang secara tidak sengaja mampir di persinggahan yang sunyi, hati kita. Hati kita yang terukir penuh gores dan tinta hitam. Meski dalam setiap tawa, ada air hangat yang pecah hingga akhirnya luruh di bundaran pipimu yang halus. Dan ada pelukan yang kadang menghambur di sela kata yang terucap ganjil, yang untuk diungkapkan butuh keberanian level tinggi, yang menjadikanmu telanjang dan malu pada takdir. Seperti itu kira-kira rasanya. Tetapi tidak semua merasakan, tidak semua mampu melihat, meski dari dekat. 

Lalu kita saling menatap tajam, saling menguatkan tetapi tanpa kata yang terucap melalui mulut. Karena tidak ada jaminan keselarasan antara hati dan mulut. Kami saling megucapkan pesan untukku dan untukmu. Dengan sofa merah sebagai saksinya dan beberapa pasang mata dari jendela sebagai pertanda bahwa kita nyata. Bahwa apa yang kita saling ucapkan bukan maya. Lalu bolehkah aku mengambil ketangguhan darimu, sedikit saja, karena aku telah membayar mahal atas label yang kubuat untuk diriku sendiri. Tidak murah jika kau ingat jalan yang harus kutaklukan di persimpangan awal. 

Scenic Route Through the Mountains.

Karena untuk berjalan lagi, kita hanya perlu menata hati yang semrawut tak berdaya. Tak teratur, seperti puzzle dengan kepingan yang ganjil. Tapi, hidup ini terus kita jalani bukan? Sebut saja kita tidak pernah merasakan apapun. Kita tetap sama, tidak ada yang berubah, tidak ada yang kurang sedikitpun pada diri kita. Kita tetap sama. Tidak ada yang kecewa nantinya. Tidak apa-apa. Ini bukan salahmu atau salah mereka. Ini hanyalah peran takdir yang secara acak dipilih dan jatuh ke dimensimu. Tak apa. Hari ini kita belajar lagi. Karena esok akan menjadi hari baru bagi siapapun. Yang secara tidak sengaja terjatuh dalam galian yang sama. Jangan pernah berusaha menyembunyikan pedihnya, karena baunya akan tercium. Rawatlah sebisamu saja. Sama seperti apa yang telah kita lakukan selama ini, berjalan semampuku, juga semampumu. Jika sudah teramat letih, rebahkan dan tinggalkan beban itu di tengah jalan tol. Jangan pernah kau coba membawanya kembali. 

NB: for you who always there when i was cry (Verna Mirta)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...