Langsung ke konten utama

Aroma Kopi



Aku membaca lagi. Aku mengingat lagi. Lampu jalan yang berkelip enggan, rambut basah yang tampak indah, dan cerita usang tentang kopi dan cokelat panas. Tentang apa yang akan kau pesan di kedai kopi kesayanganmu. Sayangnya, ada waktu yang harus kau tunggangi hingga kau mendapatkan kembali aroma kopimu. Meski kau tak akan pernah mampu membayarnya karena kepuasan tertinggi tentang secangkir kopi adalah sebuah kenikmatan tiada tanding. Ketika semua itu hilang, kopi hanyalah sebuah minuman hambar tanpa merk komersil dan tanpa daya tarik.

Di kedai itu. Ada manusia mungil yang menanti dengan sabar. Entah sabar baginya adalah kosa kata macam apa. Apakah magis yang menjelma menjadi setan? Ataukah magic yang menyamar menjadi malaikat? Baginya sabar tidak ada batasnya. Meski sunggingan ketabahan hati itu sudah sampai di ujung, di tepian peradaban, hingga butuh satu sentuhan lembut untuk bisa lumpuh kemudian jatuh. Dan hilang. Selamanya.

Kamu mulai menghitung, berapa banyak cangkir yang kau habiskan karena pecah. Pecah dalam tawa dan kebersamaan yang hangat. Meski hanya sebatas “pernah”. Kau sama seperti manusia mungil itu. Duduk di kedai yang sama, tetapi dengan posisi dan angel yang berbeda. Hingga tatap kalian tak pernah bertemu. Atau sekedar mengangguk sopan sebagai tanda salam perjumpaan. Aroma kopi yang berpadu denga cokelat panas memenuhi ruangan yang sepi. Hati kalian rancu. Antara tinggal dan pergi. Yang satu inggin tinggal, sedangkan yang lain tidak berusaha bertahan. Akhirnya kalian tersiksa dan saling menangis, tetapi tetap dengan posisi yang tidak berubah. Saling membekalangi. Tangis itu pecah kala hujan, pecah kala rindu sudah berubah menjadi memerah darah.
 

Bagi kalian memulai adalah sesuatu yang tabuh. Bagaimana semua ini diakhiri ketika kau tidak pernah memulainya. Lalu ada sekelebat rasa ingin tinggal yang menggantung lelah di ujung hatimu. Tetapi kau hanyalah manusia kuat yang terlalu kuat, hingga kau tidak mendengar rintihan itu. Mungkin itu hanya suara tetangga yang merasa kedinginan di malam hari. Kau bahkan tidak pernah mendengar bahwa teriakan itu berasal dari dalam dirimu. Kau mulai ragu. Untuk menghabiskan kopimu, atau akan memesan kembali kopimu dengan rasa yang sama. Tetapi kau yakin, rasa yang sama belum tentu memberi kenikmatan yang sama pula. Maka kau beralih ke aroma kopi yang baru. Dan kau tak pernah menghirup aroma kopimu yang lama.

Lalu rokokmu, kau ganti dengan merk baru. Dengan rasa yang lebih kuat agar kau mendapatkan ketenangan tingkat tinggi pada hisapan pertama. Kemudian kau hembuskan ke udara. Tetapi semua hening. Hening seperti neraka yang tembus melampaui kecepatan cahaya. 

Kau dan dia, masih duduk saling bersilang luka. Saling menyimpan rasa ingin bertemu dan menunjukkan senyum yang kalian dapat dari entah. Tidak ada yang memulai sebuah tawa kecil atau sapa perpisahan. Karena malam telah larut, kedai kopi akan tutup dan penjaga tua itu akan menidurkan sejenak lelahnya di samping istrinya. Sedangkan kalian hanya akan pulang dengan ucapan yang tertahan-tahan. 

Andai hujan datang, akan lebih baik. Karena masih ada kemungkinan untuk berteduh di teras dan saling merapatkan tubuh untuk menghangatkan diri. Tetapi hari sedang tidak mendung. Langitpun cerah ceria. Hanya hati kalian yang sendu. Yang secara tidak manusiawi mendamba sebuah awal yang indah. Berharap dapat melupakan yang usang dan kembali ke era yang baru. Era yang penuh kejutan.

Tetapi kalian lupa bahwa kalian memiliki sesuatu yang saling kalian sembunyikan. Kepingan hati. Meski semakin hari semakin mengkerut karena hati kalian membutuhkan charger. Aroma kopi manapun tak ada yang mampu menyambuhkannya.

Tinggalah kalian dengan sisa keping hati yang kian kaku. Butuh infus dan perawatan yang serius. Tetapi, kalian tetap menyilangkan luka dan mengobatinya seorang diri.

Sedangkan aku hanya akan menjadi manusia mungil dengan cokelat panasku yang hambar. Entah, apakah kau akan menghirupnya juga, karena aromanya telah berpadu dengan aroma darahku yang anyir. Mungkin kau akan pergi dan tak akan pernah kembali ke kedai kopi itu. Mungkin saja. Karena aku tidak tahu aroma kopi yang bagaimana yang dapat membuatmu menemukanku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja

. Jika saja itu cinta, aku akan langsung menarik pergelangan tangannya dan melekatkannya erat di lingkar pinggangku . Jika saja itu cinta, aku tidak peduli ada berapa pasang mata yang melihat, aku akan   merangkulnya dan mencium keningnya . Jika saja itu cinta, pasti sekarang aku sudah bahagia . Sayangnya itu sama sekali bukan cinta . Tidak hanya kamu, aku juga telah tertipu . Aku telah berlari jauh-jauh dari bagian bumi yang lain hanya untuk memastikan itu cinta . Ternyata bukan . Lantas bunga mawar yang kupegang harus aku jatuhkan di tempat ini juga . Karena aku telah lelah . Lelah bukan pasrah . Semoga di pertemuan selanjutnya, itu benar-benar cinta . Bukankah kamu juga berharap demikian? . Sekarang mari kita sejenak membasuh luka dan menutupnya dengan perban terbaik . Jangan penah melihat lukaku . Aku juga tidak akan pernah melirik milikmu . Jika perbanmu sudah habis, silahkan bertamu . Aku akan berbagi perbanku untukmu juga . Dan semoga kit...

Paket Mimpi

They said "Follow your dreams!". But, if my dreams broke into thousand pieces. Which one I should follow? “Makan, yuk?” tanyaku sambil menjepit smartphone di antara bahu dan telinga kananku. Bastian Faldanu, nama pria yang tertera di layar smartphone Sonyku. “Makan dimana?” tanyanya sambil menguap. Kebiasaan. Jam segini baru bangun. Batinku terkekeh.  “Biasanya aja?” aku balik bertanya sambil membereskan file-file mengajarku dan memasukkannya ke tas ransel. Hap. Beres.  “Jangan deh. Padang, yuk?” tawarnya.  “Okay. Aku jemput ya, bentar lagi berangkat.” Ucapku sambil mengakhiri pembicaraan di telfon. Pagi itu, oh mungkin agak siangan. Pukul 10.30, aku bergegas mengendarai kendaraanku ke arah tempat kos sahabatku. Sangat cepat. Takut keburu kres dengan waktu mengajar privatku.  Tidak lama kemudian, pria itu keluar dari pagar kosnya dengan menggunakan celana pendek abu-abu dan polo shirt warna merah maroon. Dan, sebagai tambahan saja. Dia...

Kaleng Soda

Sore itu aku pulang bekerja seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Pukul 16.11 WIB aku berjalan menuju parkiran kendaraan, sebentar kemudian aku langsung tancap gas. Menuju tempat dimana kita dulu pernah saling berbagi luka dan rasa senja. Tempat itu. Dulu kita sering menghabiskan soda di tempat yang bisa dibilang sangat sederhana itu. Meskipun aku selalu melarangmu mengkonsumsi minuman berkarbonasi, kau tetap saja ‘ngeyel’. Dengan wajah tak bersalah kau selalu mempersiapkan dua kaleng soda di tas ranselmu. Kebiasaan yang kini beralih kepadaku. Aku membuka tasku dan menemukan dua kaleng soda dengan merk kenamaan Amerika. Aku membukanya satu. Satu kaleng lainnya aku biarkan tetap tersimpan di dalam tasku. Ah, aku selalu menyukai suara wakktu pertama kali tutup di kaleng soda itu dibuka. Seperti emosi yang tertahan untuk kurun waktu yang sangat lama. Benar saja, sesaat setelah aku meminum soda tersebut, aku merasa emosiku kembali bergejolak. Entah, rasa rindu atau sekedar bawaa...