Langsung ke konten utama

Cerita 7 Februari 2014

Kau memilih berhenti dan menyerah.
Aku pun tidak.
Sebisaku menghadapi badai yang datangnya entah dari belahan hati sebelah mana.
Jika memang hilang dan menjadi tiada adalah pilihan terbaik,
maka aku tak pernah memilihnya.
Sampai kapanpun.
Sampai kau sadar,
senja sampai kapanpun masih mengantar malam.
Sama seperti raga ini.
Persis.

Untukmu yang secara elegan dan memukau melangkahkan kaki meninggalkan tubuh mungil ini.
Untukmu yang secara dramatis mengumbar luka dengan taburan air mata yang mulai kering.
Untukmu yang secara cepat terbang dengan relativitas massa yang sempurna.
Untukmu, masih untukmu.
Untukmu, masih kamu.
Untukmu, sampai aku tidak akan menyebut kata kamu di bibirku.
Tapi di setiap sujudku kepada Tuhanku.

(Partner In Crime)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Saja

. Jika saja itu cinta, aku akan langsung menarik pergelangan tangannya dan melekatkannya erat di lingkar pinggangku . Jika saja itu cinta, aku tidak peduli ada berapa pasang mata yang melihat, aku akan   merangkulnya dan mencium keningnya . Jika saja itu cinta, pasti sekarang aku sudah bahagia . Sayangnya itu sama sekali bukan cinta . Tidak hanya kamu, aku juga telah tertipu . Aku telah berlari jauh-jauh dari bagian bumi yang lain hanya untuk memastikan itu cinta . Ternyata bukan . Lantas bunga mawar yang kupegang harus aku jatuhkan di tempat ini juga . Karena aku telah lelah . Lelah bukan pasrah . Semoga di pertemuan selanjutnya, itu benar-benar cinta . Bukankah kamu juga berharap demikian? . Sekarang mari kita sejenak membasuh luka dan menutupnya dengan perban terbaik . Jangan penah melihat lukaku . Aku juga tidak akan pernah melirik milikmu . Jika perbanmu sudah habis, silahkan bertamu . Aku akan berbagi perbanku untukmu juga . Dan semoga kit...

Paket Mimpi

They said "Follow your dreams!". But, if my dreams broke into thousand pieces. Which one I should follow? “Makan, yuk?” tanyaku sambil menjepit smartphone di antara bahu dan telinga kananku. Bastian Faldanu, nama pria yang tertera di layar smartphone Sonyku. “Makan dimana?” tanyanya sambil menguap. Kebiasaan. Jam segini baru bangun. Batinku terkekeh.  “Biasanya aja?” aku balik bertanya sambil membereskan file-file mengajarku dan memasukkannya ke tas ransel. Hap. Beres.  “Jangan deh. Padang, yuk?” tawarnya.  “Okay. Aku jemput ya, bentar lagi berangkat.” Ucapku sambil mengakhiri pembicaraan di telfon. Pagi itu, oh mungkin agak siangan. Pukul 10.30, aku bergegas mengendarai kendaraanku ke arah tempat kos sahabatku. Sangat cepat. Takut keburu kres dengan waktu mengajar privatku.  Tidak lama kemudian, pria itu keluar dari pagar kosnya dengan menggunakan celana pendek abu-abu dan polo shirt warna merah maroon. Dan, sebagai tambahan saja. Dia...

Kaleng Soda

Sore itu aku pulang bekerja seperti biasa. Tidak ada yang istimewa. Pukul 16.11 WIB aku berjalan menuju parkiran kendaraan, sebentar kemudian aku langsung tancap gas. Menuju tempat dimana kita dulu pernah saling berbagi luka dan rasa senja. Tempat itu. Dulu kita sering menghabiskan soda di tempat yang bisa dibilang sangat sederhana itu. Meskipun aku selalu melarangmu mengkonsumsi minuman berkarbonasi, kau tetap saja ‘ngeyel’. Dengan wajah tak bersalah kau selalu mempersiapkan dua kaleng soda di tas ranselmu. Kebiasaan yang kini beralih kepadaku. Aku membuka tasku dan menemukan dua kaleng soda dengan merk kenamaan Amerika. Aku membukanya satu. Satu kaleng lainnya aku biarkan tetap tersimpan di dalam tasku. Ah, aku selalu menyukai suara wakktu pertama kali tutup di kaleng soda itu dibuka. Seperti emosi yang tertahan untuk kurun waktu yang sangat lama. Benar saja, sesaat setelah aku meminum soda tersebut, aku merasa emosiku kembali bergejolak. Entah, rasa rindu atau sekedar bawaa...