Langsung ke konten utama

Cukup



Karena cinta itu cukup. Tak pernah lebih besar, tak pernah lebih kecil. Karena cinta itu memaafkan. Dan cinta tak pernah berhenti memaafkan. Namun, tidak semua seperti itu. Hanya berapa. Dan aku selalu mendapat bagian yang tidak dari beberapa itu. Aku tidak pernah dimaafkan. Aku tidak pernah memiliki kesempatan kedua untuk mencintai. Di saat semua sekat sudah terbuka dan mentari siap bersinar kembali, ternyata aku terlambat. Nampaknya aku memiliki hubungan yang kurang baik dengan waktu. Lalu senja, mana senja? Mana senjaku yang harusnya datang? Mana senjaku yang akan menghapuskan darah di sekujur tubuhku dengan senyumnya. Mana senja? Bahkan aku sudah sekarat. Dengan krat-krat minuman yang hampir membobol habis isi otakku. Senja tidak pernah datang.

Karena aku tidak tahu, bagaimana rasa itu bisa lebur dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan aku selalu memupuknya setiap hari. Setiap malam aku hidangkan cerita, aku belai dengan penuh cinta agar ketangguhan itu tetap melekat sampai entah kapan. Setiap malam aku melihat grimis yang tertahan rembulan. Dan mengadakan pesta yang indah bersama bintang-bintang. Karena alasan itulah mungkin, grimis tak pernah sampai ke kaca jendelaku.

Kamu. Aku mencoba berbicara denganmu. Tetapi tidak pernah menyentuh hatimu. Mungkin hatimu sedang disembunyikan di entah. Jangan seperti ini. Kau melakukannya persis seperti dia. Kini aku bahkan kehilangan dia. Ketika yang kau tatap di depanmu bukanlah orang yang seharusnya ada di depanmu. Dia menghilang terlalu lama. Mungkin 4 sampai 5 tahun baru kembali. Dan selama masa itu, waktu menjadi sesuatu yang sangat berarti bagiku. Sangat berarti. Karena aku tak akan pernah memutarnya kembali. Tak akan bisa lebih tepatnya. Maka aku hanya perlu meyimpannya di kotak hatiku dan akan aku kunci rapat-rapat. Lagi. 

Kamu. Kamu yang sudah mengganti hatimu dengan segel lain. Aku bahkan tidak tahu passwordnya. Bagaimana aku bisa masuk dan bertamu lagi di teras hatimu? Mungkin telah sampai masanya kamu untuk pergi. Meski kenyataan masih mempertemukan kita dalam keadaan konyol. Di trotoar jalan, di lift, di lobby kampus, bahkan di hati kita masing-masing. Mawar itu semakin kelabu, semakin memucat dan kering. Mungkinkah cinta itu berasal dari kekuatan mawar yang kau berikan. Seiring waktu ia akan mati dan tertimbun tanah. Benarkah seperti itu?

Lalu kamu, yang setiap malam mengetuk kaca  jendelaku. Tuk tuk tuk. Tetapi aku hanya bisa melihatmu dari dalam. Sedangkan kamu diluar, kadang kedinginan, tak sering juga kebasahan. Aku sebenarnya ingin membukanya, tetapi kamu meletakkan jari telunjuk di bibirmu dan berkata “Tidak perlu dibukakan. Aku hanya akan melihatmu melalui kaca ini”. Senyum itu pun menyeruak. Meski terlihat tumpul dan seperti empedu, getir.

Lalu waktu bagaikan penjara yang akan memasung kita. Bahkan tangan kita tidak terborgol.  Otonomi kita semakin berkembang. Tetapi hati kita saling terkait dan berteriak minta tolong. Minta tolong dilepaskan. Karena tidak sengaja tersangkut untaian kawat. Aku hanya perlu tidak bergerak. Semakin aku bergerak, semakin besar dan semakin luas sobekannya. Kalau sudah sangat sakit, aku hanya mampu menggigit bibir sampai berdarah. Sampai aku puas hingga tertidur dalam buaian realita.

Lalu besok, kamu kembali dengan cerita yang lain. Dengan naskah yang baru. Mungkin aroma tubuh dan keringat yang baru pula. Mungkin kita akan bertegur sapa dan saling menyilangkan senyum. Tetapi jangan sampai bergerak. Lukamu maupun lukaku masih sangat basah dan belum sembuh betul. Masih sangat akut dengan perban yang harus diganti setiap harinya. 
 
Maka setiap harinya, aku akan mengganti perbanku sendiri. Di kamar ini. Di ruang ini. Dengan dimensi dan keceriaan yang aku setting seperti taman bermain untuk masa kecilku. Ada boneka salju yang selalu diam di dekat pintu. Ada bunga layu yang tidak pernah bisa aku buang di vas merah. Ada tulisan tentang hati yang tergambar gamblang di foam ukuran 60cmx80cm. tetapi tidak ada infus, tidak ada perawat, tidak ada jarum suntik. Aku hanya akan membalutnya dengan perban sederhana. Dengan kain sederhana berwarna cokelat bermotif bunga-bunga. Hanya itu saja yang aku punya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...