Langsung ke konten utama

Daun






Aku sedang belajar. Aku sedang belajar menjadi daun yang harus gugur pada musimnya. Entah pohonku dimana. Aku tidak tahu persis. Yang aku tahu, aku diterbangkan angin tenggara sampai kesini.

Aku sedang menulis. Menulis semua isi di hatiku yang mulai berorasi. Sayangnya, aku tidak pernah memiliki penghapus. Aku hanya memiliki tinta yang aku dapat dari pohon yang menggugurkan daunku. Aku tidak pernah bermimpi menjadi manusia. Karena manusia hidup terlalu lama. Aku sendiri tidak paham bagaimana mereka bisa bertahan dengan kenangan yang seharusnya tidak mereka kenang. Setiap hari. Setiap hujan datang. Setiap malam di kedai kopi kesayangan. Manusia, mungkin memang seperti itu.

Aku sedang belajar. Belajar menjadi daun yang tegar. Meski aku merindukan pohonku. Aku merindukan tempat dimana aku bisa bercengkerama dengan daun-daun lain. Aku hanya tidak ingin sendirian seperti ini. Di pantai ini. Sepi, hanya ada suara ombak yang menggelegar dan membuatku semakin takut. Aku sedang belajar, berjalan di jalan yang belum pernah aku lalui sebelumnya.




 


Kamu. Kamukah pohon itu? Kamukah yang menggugurkanku hingga aku terbawa angin? Aku tidak tahu. Aku tidak mau tahu. Bagiku, kenyataan bahwa aku pernah menjadi bagian dari dahanmu yang indah itu sudah cukup. Cukup sedih, juga cukup bahagia. Aku tidak pernah benar-benar sedih, aku juga tidak pernah benar-benar bahagia. Karena aku daun. Umurku tergantung dari pohonku dan juga angin yang tertarik kepadaku. 

Ketika hari hujan, aku harus merelakan tubuhku terkubur bersama lumpur jorok yang menjijikkan bagi sebagian manusia seperti mereka. Bauku sangat menusuk. Tidak sedap. Hanya anak kecil yang tidak kenal dengan kebersihan yang kadangkala memegangku, itu pun menggunakan kaki, berharap aku adalah mainan cantik atau harta karun seperti yang mereka bayangkan. Aku tahu. Aku paham betul siapa diriku. Aku pun tidak memiliki hak untuk berharap lebih jauh. Bagiku, sekilas hujan dan sesungging pelagi adalah kado terindah selama perjalanan hidupku. Terkadang aku bermimpi, aku ingin terbang ke pelangi yang indah di kaki langit paling jauh. Agar tubuhku terbias keindahannya dan mereka akan terpukau. Tetapi, angin yang menerbangkanku tak pernah cukup kuat. Aku terhempas di tepian kehidupan yang ujungnya sulit ditebak. Selalu seperti itu.

Aku juga pernah bermimpi memiliki sayap. Sayap yang cantik dan berkilau. Tetapi apalah arti semua itu jika aku hanyalah daun yang tidak bisa terbang. Maka semua itu aku buang jauh ke pedalaman pikirku. Karena ketika aku buang ke sela hatiku, mimpi itu akan hidup kembali dan menjadi buas. Itulah mungkin alasannya mengapa manusia seperti mereka sulit melupakan kenangan dalam hidup. Karena mereka tidak pernah menyimpannya di otak mereka, tetapi di suatu tempat sangat dalam yang bernama hati.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...