Langsung ke konten utama

AL-ONE



Pernahkah kau bercerita sedikit saja kepada hujan? Kepada awan yang membuat lukisan kelabu di kaki langit paling jauh. Entah itu cerita tentang apa. Mungkin tentang kelinci tetangga sebelah yang kupingnya panjang sebelah, atau tentang pohon di depan rumah yang tidak kunjung tumbuh besar. 

Pernahkah kau sedikit saja mendengar cerita? Mendengar cerita apapun. Ketika yang bercerita sudah mulai menangis dan berharap iba pada Sang Pencipta keadaan. Ketika yang disebut kata atau kalimat sudah mulai sulit untuk diverbalkan. Semua hambar dan menyendat secara perlahan. Hingga lirih. Tak terdengar. Hanya satu dua tetes air hangat yang mulai menyemai wajah kusam di pipi yang tak indah lagi.

Pipi itu bisa saja pipimu, atau pipiku. Bisa punya siapa saja. Yang merasa pernah mengalami sendiri. Dan enggan untuk berbagi. Enggan untuk memulai kisah yang serupa. Atau sekedar enggan untuk membuka yang telah usang. Maka, memang diam menjadi pilihan paling masuk akal.

Aku mulai heran dan lebih tepatnya curiga. Bukankah kita diciptakan saling berpasang-pasangan. Namun, kecocokan selalu menjadi alasan untuk tidak berpasangan. Bagaimana bisa berpasangan dengan sesuatu yang tidak pas? Kalau dipaksakan bisa sesak nafas lalu tersedak. Bukankah memang begitu?

Tapi, pada kenyataannya lain. Atau hanya aku saja yang merasa lain. Karena aku tidak bisa mencapai level cocok itu. Bagaimana mungkin semua yang telah bersemi harus berhenti tumbuh hanya karena sesuatu yang orang awam bilang tidak serasi.

Aku mulai curiga lagi ketika aku mulai menuding hal itu adalah palsu. Semuanya. Bagaimana mungkin mereka yang kurang bagus bisa memperoleh yang bagus? Sedangkan aku bahkan tidak sedikit pun. Lalu, harus aku buang perlahan sisa air mata ini agar mataku tak lagi bengkak, agar sinar mataku tak lagi pudar.

Aku mulai takut menghadapi yang lebih besar dari ini. Apa benar yang dikatakan mereka? Bahwa aku tidak cukup kuat? Untuk menahan segala ceritaku dan menentang langit.
Aku memang bukan tandingan langit. Langit hanya akan mengirimkan lebih banyak konspirasi konyolnya untuk jiwaku yang mulai hilang satu per satu. Aku ingin mengumpulkannya dan menyimpannya ke dalam botol. Aku ingin hidup. Aku hanya ingin hidup. Setidaknya jika aku harus mati sekarang, aku tidak ingin mati sendiri di tempat yang dingin ini.

The Walking Dead Of Roseway

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...