Langsung ke konten utama

Pulang


Old House

Pulang. Apakah pulang akan menjadi ritual yang begitu mengerikan? Jika tidak, mengapa selama setahun yang lalu aku tidak pernah membenamkan tubuhku pada hangatnya kamarku sendiri atau sekedar merasakan dinginnya lantai di tempat itu. Tempat  yang orang lain bilang rumahku. 

Ada luka yang harus aku sembuhkan setiap kali kaki kurus ini mulai melangkah ke pelatarannya yang luas. Minimal beberapa mili air mata akan jatuh dan bercumbu dengan tanah halaman yang gersang itu. Tanah yang merindukan hujan di bulan desember. 

Air mata itu akan menjelma keindahan seperti air terjun Niagara di kala senja. Bedanya di rumah itu tidak ada pelangi. Tidak ada terang setelah gelap. Tidak ada kata maaf setelah caci maki. Tidak ada peluk setelah tampar.
 

Pulang. Seperti enyah dalam angan-anganku yang pendek. Terlalu pendek untuk bisa bertahan diantara sekat-sekat formalnya. Entah, siapa yang membuatnya menjadi beku. Layaknya harapan kosong yang selamanya hanya akan terpasung dalam kehampaan. Tidak ada yang berniat menyembuhkan. Tidak ada yang berniat membakar sesuatu untuk membuatnya hangat kembali. Pun, tidak ada yang berniat menghapus segala rekaman kejadian yang tersemat dalam setiap dindingnya yang kian rapuh.

Lalu, hanya ada Tuhan di pojok kamarku yang selalu kudebat dengan isak tangis. Isak tagis penuh protes. Isak tangis penuh tuntut. Isak tangis penuh rontaan. Isak tangis penuh kata jangan. Isak tagis penuh sumpah serapah. Pada akhirnya, semua itu akan berujung pada isak tangis memilukan.

Tuhan, mungkinkah sebagai perempuan aku terlalu loba? Hingga Kau tidak mengizinkanku memiliki impian?

Tuhan, mungkinkah perjuanganku hanya sebatas ini? Lalu lumpuh seperti bintang jatuh yang terlalu cepat berlalu dan tidak sempat disaksikan orang. Terlebih orang-orang yang kuperjuangkan.

*Kini rumah itu semakin terpuruk oleh waktu. Tidak ada bunga-bunga bermekaran dan pagar yang megah seperti dahulu. Hanya ada tempelan bertuliskan  "Eviction Notice”.


Rosalie.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari ini kita tidak ada bedanya..

Hari ini. Hari dimana sebuah kata menjelma segumpal peluk hangat dan secangkir manisnya persaudaraan. Hari ini. Hari dimana seorang aku ternyata bukan hanya sebatas aku, tetapi tentang apapun itu yang menggantung di pundakku hingga kuku tanganku kaku karena membeku. Tidak seburuk itu, karena hidup ini bukan skripsi, jadi tidak ada revisi. Tidak seperti yang kau pikir di otak bebalmu itu, karena hidup ini memang tidak semudah itu.  Hari ini, lagi kumaknai hari dimana siapapun berhak memiliki dan berjuang atas nama sesuatu. Mobil mewah, apartemen megah, suami setia atau apapun yang mereka sebut cita-cita. Tidak ada batas, tidak ada beda. Kamu, yang menjadikanku pemilih dalam hidup. Pemilih atas sesuatu yang telah aku tentukan sebelumnya, akhirnya aku memilih jalanku. Jalanku yang kau bilang berliku. Tetapi kau selalu memegang pundakku dari jauh. Jangan sampai terjatuh, karena aku bahkan tidak bisa membedakan mana jurang mana jalan.   Itulah kau, yang kusebut nyawa baru bag...

Paket Mimpi

They said "Follow your dreams!". But, if my dreams broke into thousand pieces. Which one I should follow? “Makan, yuk?” tanyaku sambil menjepit smartphone di antara bahu dan telinga kananku. Bastian Faldanu, nama pria yang tertera di layar smartphone Sonyku. “Makan dimana?” tanyanya sambil menguap. Kebiasaan. Jam segini baru bangun. Batinku terkekeh.  “Biasanya aja?” aku balik bertanya sambil membereskan file-file mengajarku dan memasukkannya ke tas ransel. Hap. Beres.  “Jangan deh. Padang, yuk?” tawarnya.  “Okay. Aku jemput ya, bentar lagi berangkat.” Ucapku sambil mengakhiri pembicaraan di telfon. Pagi itu, oh mungkin agak siangan. Pukul 10.30, aku bergegas mengendarai kendaraanku ke arah tempat kos sahabatku. Sangat cepat. Takut keburu kres dengan waktu mengajar privatku.  Tidak lama kemudian, pria itu keluar dari pagar kosnya dengan menggunakan celana pendek abu-abu dan polo shirt warna merah maroon. Dan, sebagai tambahan saja. Dia...