Langsung ke konten utama

Senja (when "Hi" meets "Goodbye")


Senja. Sudah lama aku memasung kata itu dan meninggalkannya di kotak kayu tua di dalam kamarku. Dunia 4x4 yang selalu menjadi area kekuasaanku. Dunia kecil yang aku buat dan aku hidupkan dengan mantra-mantra pengantar tidur yang cukup mujarab. Lebih tepatnya dunia yang terasing. Jauh dari normalitas Homo sapien dan gelegar suara tawa manusia yang wajar. 

Dunia itu cukup sempit bagi otakku yang tidak terbatas. Dunia itu juga cukup ringkas bagi angan-anganku yang jauh mengembara ke negeri entah. Tetapi disitulah sesosok aku hidup dan memecahkan segala teka-teki asimetris yang meleket erat di pundakku (baca: luka).

Senja, aku dulu percaya bahwa senja adalah penghapus lukaku yang paling ampuh. Entah aku memperoleh konsep spekulatif itu dari mana. Tetapi, aku selalu menyempatkan diri untuk mengantarkan kepergian senja sebelum malam menghabisinya tanpa ampun. 

Senja. Aku menyukai perpaduan warna orange keemasan dan warna mega yang pucat disisir mendung di ufuk barat. Aku sangat menyukainya. Bagiku, senja telah memiliki tempat tersendiri di dalam hatiku. Lebih jauh dibanding tempat aku biasanya mempersilakan manusia masuk.

Tetapi, sejak senja terakhir bersamanya, aku enggan datang ke bukit itu dan menyaksikan keindahan panorama di sore hari. Ada rasa yang membabat dan ada yang menghalangi kakiku untuk melangkah ke padang rumput yang menawarkan semilir angin paling sejuk itu. Dan sejak saat itu, aku tidak lagi memuja senja seperti yang biasa aku lakukan.

Senja tetap indah, tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Tetapi ada luka yang mengantar kepergiannya seraya menutup selamanya pintuku untuk melihat warna jingga itu kembali. Ada kubangan besar yang telah aku masuki dan hingga saat ini aku bahkan tidak mampu untuk keluar atau hanya sekedar mendongakkan wajah ke langit yang lebih cerah. Tetap, aku tidak bisa.

Fokusku kembali ke kamar tak beraturan itu. Banyak kertas putih kosong yang terlempar ke tempat sampah. Di sisi kiri tempat tidur terdapat meja kayu dan dihiasi taplak minimalis yang ujungnya telah basah oleh tumpahan kopi hitam yang aku buat tadi malam. 

Di atas meja ada vas bunga yang bagian dasarnya telah retak dan bunga mawar itu telah layu hingga warnanya yang merah merekah mulai memudar menjadi cokelat tua. Sungguh pemandangan yang tidak layak untuk dipandang. 

Sudah beberapa bulan hidupku terasing di dalam ruangan itu. Di dalam ruangan yang lebih aku bilang kandang singa dibanding kamar yang wajar.

Lalu, pandangan kulempar ke sisi kananku dan aku melihat angka 30 pada kalendar tersebut ditandai dengan boardmarker biru. Bertuliskan : Anniversary. Meet up with senja lagi, yuk? 
Senjamu dan Senjaku
Aku menjatuhkan badanku ke tempat tidur dengan malas. Iya, hari ini sudah harus aku selesaikan semua. Sudah harus aku hentikan segalanya. Dan benar-benar aku potong sampai di sini saja. Mungkin memang sudah waktunya aku mengembalikan jiwaku seperti sediakala. 

Kemudian, sore itu diakhiri dengan pestaku bersama senja di bukit itu. Bukit dimana aku dan seorang pria pernah memulai sebuah awal. Bukit dimana aku sebagai wanita biasa akhirnya menjelma menjadi wanita istimewa. Bukit dimana sepatah “Hi” akhirnya dibalas dengan ucapan “Selamat tinggal”.

***


Ini adalah kisah tentang kehilangan. 
Ketika kau mendapati hatimu kosong dan merapuh. Atas nama ketidakpercayaan kita telah mengucapkan selamat tinggal, satu sama lain. Kau benar, hidup kita akan selamanya berada dalam kenangan orang lain. Tetapi tidak bisakah kita mengambil check atas nama “kebebasan dari belenggu masa lalu” yang bermateraikan aroma cokelat panas yang baru. 


Kali ini, coba saja ditambahkan sedikit gula agar terasa manis. Tidak peduli seberapa banyak gula yang kau tambahkan, rasa pahit itu akan selalu ada. Lalu, aku hanya akan menjadi brengsek dengan kenangan yang harus aku musnahkan sekarang juga atau tidak sama sekali. Bukankah ketika semua jalan telah tertutup, aku hanya perlu mendengarkan kata hati? Bukankah seharusnya begitu?

Maka, aku hanya akan membenci senja sampai saat ini, hanya sampai saat ini. Karena ketika hari esok datang, aku akan hadir dengan pesanan kopi yang berbeda.

***

dhe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...