Langsung ke konten utama

Pesan Singkat



12 November 2014

Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri.
Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan?

Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya. 

Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bolpoint warna-warni di tasku yang akan kau pinjam ketika kau kedapatan lupa membawa alat tulis. Itu saja. Sederhana.

Latas, aku memiliki seribu satu rasa penasaran di dalam dadaku. Menyeruak ingin keluar dan berteriak “Aaayoooooooo lakukan, gadis bodoh!!!”. Akhirnya aku pasrah. Aku menuliskan pesan singkat dan tereeeet tereeeeet, aku mengirimnya kepadamu.

Aku berharap pesan itu tidak pernah tersampaikan. Aku takut, aku malu, tetapi aku juga senang. Mungkin, aku sedikit gila. Atau inikah rasanya meneguk vodka mix kemudian berputar-putar sebanyak dua puluh kali? Rasanya seperti pesta bersama ribuan kunang-kunang. Benar-benar mual dan pusing. 

Sampai akhirnya ketika aku membubuhkan tulisan di block noteku, kau yang sejak abad ke entah menjadi sosok yang selalu kutunggu, akhirnya datang. 

Datang tanpa senyum. Datang tanpa memandang. Datang tanpa tegur. Aku menundukkan wajah. Aku terus menundukkan wajah. Aku merasakan malu yang luar biasa. Aku berlari menuju toilet, memandang wajah konyolku di cermin, dan meneriakkan kalimat “Aku melihatnyaaaaaaa, huwaaaaaaaaaaa!!!!!!!”

*Aku tidak berharap banyak. Aku tidak berharap kau membaca pesan singkatku dan membalasnya. Aku hanya ingin melihat kau datang dengan senyummu itu. Cukup.

- From Rosalie yang selalu bersembunyi dibalik bolpoint warna-warni -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...