Langsung ke konten utama

Moments and Memories



Adakah rasa yang tertinggal setelah kau meneguk segelas wine? Atau merasakan kerongkonganmu yang kerontang itu akhirnya hangat oleh Vodka? 
Adakah rasa yang tertinggal setelah kau menengadah memandang langit yang diam, sedangkan batinmu berkecamuk? Adakah yang tertinggal setelah hujan mengguyur hebat pertahananmu hingga lumat dan meluruh? 
Adakah yang tertinggal setelah wajah malam yang sendu kau gerojok dengan air matamu sendiri? Sudah itu, pagimu beringsut sepi dan dingin. 
Adakah?
Jika ada katakan disini.
Jika ada tunjukkan padaku. 
Adakah yang benar-benar mengharap pagi yang baru? Atau mereka hanya takut malam akan mengamuk.
Di tumpukan buku bekas yang berdebu aku selalu bersembunyi. Karena bagiku tidak ada yang tersisa. Bahkan uap-uap wineku pun perlahan sirna dan berganti kekosongan yang nanar.
Sama seperti matamu. Nanar dan sedikit cahaya yang mampu masuk cukup membuktikn bahwa kau sudah terlalu jengah dengan hidup. 
Aku masih sama. Duduk disini. Dengan krat-krat wine yang kian menua. Dengan rasa Muscato terakhir yang kau tawarkan padaku. Getir. Sudah itu kembali mati rasa. Ngilu di sekujur lidahku.
Adakah yang tersisa setelah ini?
Jika ada, aku ingin melihatnya.
Aku ingin kembali hidup dalam kehidupan, bukan hanya di perlintasan otakku yang sering tidak stabil.
Adakah aroma harum dari  bunga-bunga di halaman hatimu telah berganti? Ataukah tidak ada musim semi yang mampu menyemai putiknya?
Karena aku haus akan kebebasan. Kebebasan berlari di padang rumput yang luas. Kebebasan merasakan sengatan matahari di bawah pohon Maple. Atau sekedar mencicipi anggur di perkebunan milik kakekmu.
Adakah yang seperti itu wahai kawan kecilku?
Bukankah kehidupan telah menyeret kita hingga sejauh ini? Hingga separah ini. Aku bahkan tidak paham dimana letak ragamu yang utuh.
Aku merindukan tawa yang kau pintal dibalik rumput hijau sungai Seine. Aku merindukan gigi kelinci milikmu. Aku selalu memperhatikan simetrisme yang sempurna itu ketika kau menjilat floatmu. 
Aku merindukan waffle berry yang menjadi masakan andalanmu. Atau sepatu botmu yang mulai sobek bagian ujungnya. 
Semoga kau selalu bisa berlari di kebun anggur itu dengan sepatu bot yang baru.

Moments are come and go. But, memories last forever.
*temanmu berlari di kebun anggur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...