Kuda liar berlari bebas.
Ada sayap yang mengepak tanpa kau sadari.
Satu, dua, dan tiga persimpangan terakhir akan
menjadi milikku.
Milikku yang kau rebut.
Partner. Aku menunggu dokumen terakhir yang kau
janjikan. Jadikah? Apa kau saat ini sedang mengalami kemacetan di jalan raya
hingga kau mengumpat? Ataukah kau sedang memegangi kepalamu sambil mengeluh
pusing di tempat tidur karena terlalu banyak minum tadi malam?
Hari ini kau terlambat datang. Lagi. Mungkin sudah
yang ke sembilan kali. Tiga keterlambatan terakhir terjadi di hari spesialku
bersama Manu (pacarku). Kau selalu begitu. Tidak pernah berubah. Jauh sebelum
aku mengangkatmu menjadi asisten pribadiku kau memang sudah seperti itu.
Kau bahkan pernah membuat kesalahan konyol
dengan terlambat mengantarkan kue ulang tahun untuk Manu. Meski Manu hanya
menatapku dengan tatapan santai komplit dihiasi senyum mahalnya, aku tahu ada
sirat kekecewaan yang terpancar dari bola matanya yang biru. Aku tahu, bule
seperti dia bukan type orang yang akan mentolerir keterlambatan macam mana pun.
Selama jarum jam masih berdetak dengan teratur,
selama nafas di hidungmu masih berjalan dengan lancar. Dan selama bronkus di
paru-parumu masih mampu menangkap oksigen, mengapa tak kau coba untuk sekali
saja lebih menghargai waktu. Bukan untukku. Setidaknya lakukan untuk dirimu
sendiri.
Kau tahu? Kata orang, waktu adalah suatu hal
yang sangat berharga. Tetapi tidak bagiku. Karena waktu bagiku sangat priceless. Tidak bisa dinilai dengan
dollar semahal apapun. So, demi apa aku harus menunggumu di kantin kantor
hingga lecek semua make-up ku seperti ini?
Apa aku terlalu kasian kepadamu sehingga aku
selalu memberimu another try? I don’t
seem like I give you another try, dude. At least, please me with your best service.
I’m your boss anyway.
Sudah berkali-kali Manu memintaku untuk
memecatmu. Tetapi, aku menahannya dan berkata kau masih dalam batas yang wajar.
Pernah suatu ketika aku dan Manu bertengkar hebat karena aku selalu membelamu
untuk alasan yang kurang jelas. Kau memang terlalu cerdik untuk menjadikanku
tameng dari kemarahan Manu. Sampai Manu pernah mencurigaiku bahwa aku dan kau
ada hubungan spesial. Aku menampiknya dengan alasan tidak mungkin seorang boss wanita
ada main dengan bawahannya yang bahkan tidak cekatan ketika bekerja.
Aku sendiri kadang juga heran. Mengapa selalu
kau, kau, dan kau. Mungkin, secara fisik kau stylist, tampan, oke, dan lumayan
jika bersanding denganku. Entah itu hanya sekedar duduk-duduk di mall atau ke acara hajatan teman
sekantor. Mungkin juga karena alasan itu, aku selalu menyuruhmu menduduki kursi
kemudi di dalam mobilku. Entah, aku hanya suka memandangi pria dari samping
dengan kemeja flannel biru yang selalu kau gulung hingga menyentuh sikumu.
Kau masih saja belum datang. Aku mulai muak dan
aku segera bangkit dari kursi kayu di kantin itu. Sejurus kemudian aku
melihatmu berjalan dengan santai sambil memasang senyum tanpa dosa.
“Sudah lama menunggu, Miss?” tanyamu santai
sembari duduk di kursi kayu yang tepat menghadap ke arahku. Angel yang bagus
untuk sebuah roman picisan.
“Menurutmu?” aku memalingkan wajah.
Kesal beradu dengan rasa lapar. Bisa saja aku
memesan makanan di kantin sembari menunggumu tadi. Tetapi ide tentang makan
siang bersamamu di warung bakso sepertinya berhasil menghentikan sensasi laparku.
“Bagaimana kabar Bos Besar?”
“Manu? Masih di Chicago. Minggu depan baru
dapat cuti kerja selama dua minggu.”
Suasana hening sejenak. Ada kerutan kening yang
kau tampilkan. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Tetapi aku tidak begitu
memperhatikanmu. Aku terus memalingkan wajah ke sisi kananku.
“Miss..”
“Ya?”
“Sepertinya aku akan resign dari perusahaan
ini.”
Seketika mulutku terbuka lebar, tetapi tidak
mampu berkata sepatah kata pun. Aku memandangmu lekat-lekat.
“How is possible?”
protesku.
“Maaf. Tetapi, Miss Belle memperlakukan saya
begitu istimewa. Rekan yang lain kadang iri melihat saya. Saya jadi tidak enak.”
“Kamu bekerja di sini karena kamu ingin bekerja
atau karena rekan kerjamu yang lain?”
Kau diam. Menunduk lesu.
Mungkin memang pertanyaan terbesar ada padaku. Mengapa
aku begitu membelamu. Mengapa aku memberikan bayak excuse kepadamu ketika kau melakukan kesalahan. Sederhana saja jika
aku menjawabnya. Karena kau bawahnku yang paling aku sayangi.
Lantas, akan ada pertanyaan lain dari jawaban skeptis
itu. Untuk alasan apa aku menyayangimu? Bukankah aku telah memiliki Manu? Walau
pada suatu ketika aku tidak bisa hanya tergantung pada e-mail dan skype untuk
bisa bersama Manu. Mungkin, ada bentangan kain yang sangat lebar jika aku
bersama Manu.
Aku dan Manu berbeda budaya, bahasa, bahkan
keyakinan. Apa untuk alasan konyol itu aku kemudian menjerumuskanmu ke lubang
yang telah aku gali sendiri. Setidaknya jika aku terjatuh, aku masih memilikimu
di lubang itu. Kira-kira seperti itu pikiranku ketika aku menggali lubang itu. Walau
hal itu terkesan sangat egois.
Aku masih belum mengiyakan atau menidakkan pengajuan
resignmu.
“Pikir-pikirkan lagi jika ingin resign, Rey,”
tukasku.
“I did,
Miss. Even, every single time I think about it. Especially us.” Kau kembali
menundukkan wajahmu yang sedari tadi menampilkan ekspresi tegang.
Ada semacam es yang mencair ketika kau
menyebutkan kata ganti milik berupa “us”.
Us you mean? Tanyaku dalam hati. Kau tidak
menekankan dirimu sendiri atau diriku. Tetapi kau memadukan keduanya hingga
membentuk kesatuan yang utuh. Tanpa berusaha untuk menyingkirkan ke-aku-anmu
atau ke-aku-anku.
“I think,
I’ve been fall for you, Miss. Sorry, before it all went wrong. Why do you
always give me your excuse while I keep ruin on you?”
Kemudian, ada palu besar yang memukul dadaku
ketika kau mengucapkan kata-kata itu.
Aku tahu sekarang. Alasan dibalik semua “penantian”
konyol ini. Disini kau membuat seolah-olah kau adalah bad guy yang harus aku hindari. Kau terus membuatku kesal, dengan
keterlambatan jadwal, keterlambatan deadline, ditambah penyakit pikunmu yang
kian parah. Dan segala kecerobohan buatanmu.
Aku tahu sekarang. Kau hanya ingin lepas dari
jerat yang telah membuatmu terlena hingga tersesat di dalamnya.
Kemudian kau mememutuskan untuk berlalu. Lebih
dari sekedar berlalu. Tetapi, membenamkan diri agar aku tidak lagi bisa melihatmu.
Sepertinya kau juga tahu bahwa aku merasakan a little crush on you.
Kau masih mempedulikan aku dan Manu di saat aku
bahkan tidak ingin mengingat nama orang bule itu.
Aku, atau mungkin kita, memang sudah masuk ke
lubang yang aku buat. Aku mengira selama ini aku yang telah menyeretmu masuk ke
lubang itu. But, now and then I aware,
bahwa kau sendiri yang merelakan diri jatuh bersamaku. Kau yang secara suka
rela bersedia menjadi lawan mainku dalam permainan konyol ini.
Andai kau tahu bahwa aku ingin menyergahmu dan
berkata jangan. Tetapi untuk beberapa saat, aku berpikir logis.
“Just do whatever
you should do, Rey. Take it. We don’t stand any chance againt this.”
Kau selama ini sedang tersesat mungkin. Tersesat
di persimpangan yang seharusnya menjadi milikku dan Manu. Bukan milikmu. Tetapi,
tanpa mengurangi rasa hormat akhirnya kau mengembalikan persimpangan itu pada
sang empunya.
Sudah bukan saatnya lagi untuk bermain di
lubang yang aku gali. Saatnya aku berpikir waras dan melepaskanmu sebagai lawan
main. Itu saja.
With Love,
Belle
Komentar
Posting Komentar