Langsung ke konten utama

Between The Bars



“So, here we are.”
Aku sedikit canggung mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya yang masih sama. Iya, dia yang pernah beberapa hitungan waktu menginap di hatiku yang paling mewah. Memang, aku yang membiarkannya masuk dan bertamu di teras hatiku. Sebelum akhirnya merangsak lebih jauh menjelajahi seluruh isi ruangan berwarna merah jambu itu. Hingga tak sersisa sedikit pun celah untukku mempertahankan. Benar. Dia telah merebut segalanya yang seharusnya menjadi milikku. Bahkan jiwaku.
Aku hanya tersenyum kecut, tak sempat membalas kata-kata itu dengan kalimat yang lebih panjang. Seperti kehilangan kemampuan untuk merangkai abjad. Verbal disorientation. Lebih susah daripada bermain scrabble bersamanya dulu. Memang, untuk urusan scrabble akulah yang paling jago. Dia hanya mampu sampai beberapa level di bawahku. Sisanya, aku yang berkuasa. Tetapi untuk urusan ini sedikit beda. Aku bahkan tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Bahkan hanya sepatah saja aku gagap mendadak.
“Hai, kok nglamun. Lagi cari buku apa?” tanyanya lagi membuyarkan lamunanku.
“Lagi cari literasi buat bahan skripsiku sih,” ucapku bohong.
Yah, malam ini memang aku hanya ingin melepas segala kepenatanku dengan berkumpul bersama aroma buku baru di toko buku tidak jauh dari tempat kosku. Tetapi, nasib sial seolah tak berhenti menguntitku dari belakang. Aku justru bertemu dengan orang yang sama sekali tidak ingin kutemui. Bahkan untuk alasan kebetulan seperti ini.
Tuhan, apakah Kau benar-benar menciptakan kebetulan itu? Menciptakan sebuah moment yang mungkin saja terjadi dan mungkin saja tidak. Jika dihitung dengan persamaan matematis, peluangnya sama. Sama-sama 0,5. Tetapi, kali ini peluang itu justru bernilai genap. Satu.
“Masih sering baca novel?” tanyanya lagi berusaha membuka pembicaraan yang lebih luas.
Walaupun aku telah menghindar beberapa meter darinya seolah aku sedang sibuk dengan bahan literasiku, tapi tetap saja I can’t deceive myself that my only focus is just him. Indeed. Dia tetap mengikuti di belakangku seolah tidak ingin melewatkan kesempatan langka untuk kembali “menggangguku”. Ah, aku menghela nafas panjang dan mulai berkata,
“Could you just stop following me, please?”
Why not? I was just so sureprise to see you here. Mau minum di bar sebelah?” tawarnya seolah tanpa dosa.
Kali ini aku tidak bisa menolak (lagi). Ah, aku selalu payah untuk urusan yang seperti ini memang. Biarlah kali ini aku mempersilahkan kebetulan itu berkunjung ke dalam malam sepiku dan membiarkan dia bermain sepuasnya dengan malamku. Karena aku berjanji. Hanya malam ini. Akan aku berikan maaf untuk kata yang disebut “kebetulan” itu. Jika esok, lusa dan seterusnya masih seperti ini. There’s no more excuse tomorrow, the day after tomorrow and another tomorrow. Kalau seperti itu namanya bukan kebetulan lagi, tapi keterlaluan.
Malam masih mengumbar aroma getir dari sisa hujan tadi sore. Toko buku telah kami tinggalkan. Pria yang kusebut “dia” itu tidak berjalan menghampiri mobilnya di tempat parkir. Aku sempat meilirik ke arah parkiran. Hanya untuk memastikan bahwa mobilnya masih sama seperti yang dulu. Dan itu warna kesukaanku. Metallic blue. Dia berjalan beriringan di sampingku. Karena Wine Bar yang dulu sempat menjadi tempat minum kesayangan kami terletak tidak jauh dari toko buku yang aku kunjungi. Hanya berjarak 10 meter kira-kira. Tetapi aku merasakan teori relativitas Einstein benar-benar bekerja pada diriku. Waktu berjalan terlalu lambat saat aku menyusuri trotoar yang ramai itu.
Orang-orang berkeliaran seakan membuatku pusing. Tetapi anehnya aku merasa sendiri dan tidak merasakan dia. Entahlah aku hanya kehilangan kemampuan untuk mendeteksi. Mendeteksi letupan-letupan emosi yang terjadi di dalam dadaku saat ini. Semua bercampur menjadi satu hingga rasanya aku ingin muntah. Dan membiarkan yang lama tertahan akhirnya keluar dan bersimbah di kaki pria itu. Biar dia tahu, bahwa selama ini aku sebenarnya tidak pernah benar-benar melupakan dia. Bahkan hal-hal terkecil tentang dirinya. Aku selalu ingat. Dan hal itu membuat perasaanku semakin kacau.
Wine Bar tersebut tidak terlalu besar. Hanya sebuah cafe kuno yang didesain dengan paduan warna coklat kayu dan juga ornamen-ornamen khas Italia. Tempat yang cukup tenang untuk sekedar minum satu dua gelas wine.
Dia mengambil tempat duduk dekat jendela yang menghadap langsung ke trotoar jalan. Lagi-lagi tempat kesukaanku. Sepertinya dia mash ingat segalanya tentangku. Atau kali ini hanya benar-benar sebuah kebetulan? Entahlah.
“Cabernet Sauvignon dua gelas mbak,” ucapnya sambil tersenyum manis kepada waitres cantik yang ternyata sudah berdiri di sebelah kami sejak tadi.
Lalu tatapan matanya mendarat indah di mataku. Mata coklat itu. Mata yang selalu memancarkan ketulusan kepada siapapun. Sayangnya, kali ini aku tidak ingin terlena dalam fantasi gila itu. Aku hanya tidak ingin memulai sesuatu yang benar-benar telah usai. Lalu, sayup – sayup terdengar suara Elliot Smith dari sound system di Wine Bar tersebut.
Drink up baby, stay up all night
With the things you could do
You won't but you might
The potential you'll be
That you'll never see
The promises you'll only make

Drink up with me now
And forget all about
The pressure of days
Do what I say
And I'll make you okay
And drive them away
The images stuck in your head

People you've been before
That you don't want around anymore
That push and shove and won't bend to your will
I'll keep them still

Drink up baby, look at the stars
I'll kiss you again between the bars
Where I'm seeing you there
With your hands in the air
Waiting to finally be caught

Drink up one more time
And I'll make you mine
Keep you apart,
Deep in my heart
Separate from the rest,
Where I like you the best
And keep the things you forgot
 De, this is my first time to see you. During this time I could not even delete you from my mind.
Aku hanya diam sambil terus menatap matanya yang sangat jelas menggambarkan kejujuran. Andai dia tahu bahwa I feel exactly the same way. Tetapi, sekali lagi mungkin ini hanya sebuah kebetulan yang dibalut dengan sebuah kesan yang indah. Yang akan melumpuhkan semua saraf orang yang mengalaminya. Yang jika sedikit saja menyentil memori itu, maka semua akan luluh lantak. Hancur tak berbekas.

Dhe.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...