Langsung ke konten utama

Merry Go Round



Sudah aku mundurkan seluruh pasukanku. Karena aku tidak mampu menembus perasaan itu. Sangat kuat seperti medan magnet. Bedanya, ia tak mengenal kutub.

Aku kembali menyeruput kopi hitamku yang mulai hambar. Udara dingin di kota kembang membuat uap-uap kopi itu mengudara hingga ke angkasa kemudian hilang. Dan untuk kesekian kalinya. Aku kembali. Ke sebuah ide dimana aku dulu pernah sedikit bermakna. Merry go round.

Aku tidak begitu suka ide tentang berada beberapa kaki di atas tanah. Acrophobia. Yah, aku takut ketinggian. Karena itu aku benci menaikki bianglala. Tetapi, beberapa temanku selalu memaksaku untuk melakukannya. Alih-alih untuk menyembuhkan traumaku akan ketinggian, justru berujung pada muntah di lantai besi bianglala dan menjadi sasaran empuk mereka untuk tertawa. Menertawakanku lebih tepatnya. Sialan.

Sejak saat itu, aku tidak tertarik dengan ketinggian dan segala percobaan bodoh yang berhubungan dengan elevasi. Dengan gagasan tentang menjadi burung atau sejenisnya yang bebas mengudara hingga ke angkasa. Aku memiliki cara lain. Marry go round. Berputar, pusing, mual, dan diakhiri dengan tawa lepas yang kadang terkesan seperti luapan emosi yang sangat dalam. Terus berputar, berputar sekali lagi, dan lagi. Hingga lagi yang kesekian. Entah kapan ia akan berhenti. Aku tetap berputar. Menikmati setiap hembusan udara yang melewati telingaku, leherku hingga menyapu seluruh wajahku. Aku lebih menyukai cara merayakan hidup yang seperti ini.

Aku bisa merasakan seluruh darahku mengalir lebih cepat dari biasanya ketika aku berada di puncak kepuasan itu. Aku bisa melihat bintang yang berputar dengan jejeran lampu-lampu malam yang lebih tampak pusaran angin yang bercahaya. Indah.
Merry Go Round at Night
Hingga suatu ketika aku menemukan kesenangan lain daripada sekedar berputar. Merasakan kehadirannya sebagai medan magnet tersendiri. Kuat. Sayangnya aku tidak cukup kuat untuk menghindar dari pusarannya. Sampai akhirnya aku terhempas hingga ke pedalaman yang ia buat.

Dan aku menemukan dunia baru. Letupan-letupan rasa gembira yang menjelma menjadi sedikit rasa “semoga ia tetap ada”. Dicampur egosentris dan skeptis dengan proporsi sempurna. Serta sejumput “Ah, tak apalah. Kapan lagi aku bisa bermain seperti ini?”.

Maka sempurnalah mantra itu menjadi sebuah kata yang sulit diverbalkan.

Cinta. Mungkin terlalu picisan. Aku lebih suka menyebutnya “rasa lain”. Rasa itu mengundang sensasi baru saat merry go round pertama dijalankan.

Kau akan merasakan sedikit rasa takut. Tetapi, mencoba adalah kebodoha pertama yang kau lakukan. Sebelum selanjutnya merangsak ke jenis kebodohan lainnya. Seperti merasakan nikmatnya berputar dalam dunia yang tidak pernah kau kenal sebelumnya. Tetapi kau tenggelam terlalu lama. Meski kau kedapatan teriak-teriak kegirangan, tetapi alam semesta tidak cukup bodoh untuk bisa kau kelabui bahwa ada tetesan air hangat di sudut matamu yang mulai luruh. Ada isak tangis dibalik teriakmu. Ada segelintir rasa sepi dibalik tawamu yang keras.

Kau tidak akan bersedia menghentikannya. Lanjutkan lagi. Sekali lagi. Kau terus berkata seperti itu. Ini adalah bagian yang paling membahayakan. Ketika kau mulai mempercayakan sebagian atau bahkan seluruh hidupmu pada “anggota” lain yang juga sedang menikmati kuda itu berputar pada porosnya.

Kau mungkin akan tersesat pada medan magnet itu. Yang terlalu kuat untuk kau lawan.

Seperti yang aku rasakan saat bersamanya.

Aku tidak ingat kapan waktu terakhir aku menungganggi kuda besi berputar itu bersamanya. Terakhir yang aku perhatikan dari sosok itu, ada luka yang menganga parah di belahan jiwanya yang lain. Yang tidak pernah ia bawa bepergian barang sekalipun. Luka yang ingin ia buang melalui mataku. Luka yang ingin ia bakar dengan energiku. Luka yang ingin ia titipkan pada tubuh mungilku sampai aku menjerit kesakitan dan minta tolong dilepaskan sebagai tawanannya. Hal itu yang ia inginkan dariku.

Aku tahu tanpa harus mendengarkan langsung atau melihatnya. Aku tahu.

Kemudian, ia menghilang seperti kabut di malam hari. Dingin. Tanpa ampun. Tanpa kata perpisahan untuk lebih menyakralkan moment itu. Tidak ada gelas wine yang bibirnya disulangkan hingga membentuk bunyi nyaring. Sama sekali sepi. Sampai lampu merry go round itu dipadamkan. Dan akhirnya aku berhenti berputar.
 
Mungkin ini yang dinamakan mimpi dengan mata terbuka lebar. Sadar, tetapi tidak waras. Bahagia tetapi mati rasa.

Dan malam ini. Masih di kota kembang yang dingin. Aku melihat sosoknya sedang tertawa lebar di pusaran kuda besi itu. Aku bisa melihat ekspresi rasa gembira yang tiada tara hanya dari gurat tawanya yang sangat jelas. Ia melambaikan tangan ke arahku dan mengajakku bermain sekali lagi.

Bisa saja aku menerima uluran tangannya.

Tetapi, kali ini aku menghendaki hal lain. Aku hanya tidak ingin terseret ke medan magnet itu (lagi).


Rosalie


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...