7
November 2014
Malam
ini dingin. Lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Aku masih terjaga di
dalam ruangan besar bercat putih yang dipadukan dengan warna biru tua. Aku
bahkan tidak mengenal rasa kantuk, sudah terlewatkan oleh segala kepenatanku di
ruangan yang luas ini. Berharap ada makhluk sejenisku yang merapat dan
menemaniku mengerjakan penelitian skripsiku.
Tetapi,
sabtu malam tampaknya menjadi satu-satunya alasan mengapa ruangan itu kosong
melompong. Yah, malam minggu kalau bahasa anak gaulnya. Aku? Ah sudahlah
kembali saja ke permasalahan skripsi dan segala tetek bengeknya. Aku kembali
terpaku memandangi alat-alat laboratorium yang menjadi satu-satunya teman
setiaku. Hanya nyamuk-nyamuk kesepian yang
kerapkali mendarat indah di kulitku.
“Dhe…”
Aku
tersontak kaget. Mendongakkan kepala dan memastikan bahwa itu adalah suara
manusia, bukan siluman atau sebangsanya. Dibalik pintu laboratorium aku melihat
sosok yang tidak asing lagi di mataku. Dani. Teman satu jurusan yang juga
secara kebetulan bekerja satu laboratorium bersamaku.
“Kamu,
Dan?” tanyaku sambil mengulumkan senyum seperti biasa.
“Iya.
Sendiri aja?” ucapnya sembari mengambil tempat duduk tepat di sampingku dan
mulai membuka tasnya, mengeluarkan laptop dan segera menghidupkannya.
“Yups.
Like you see me now. Buset dah, mau nonton film, Pak?” tanyaku sambil terkekeh.
“Iya,
kenapa? Mau join? Ada film horor baru.” ucapnya datar. Mataku langsung melotot
dan memebrikan isyarat untuk segera menyingkir saja dari dekatku. Aku tidak
suka hal-hal yang berbau horor sejujurnya. Walaupun keputusanku untuk
“nglembur” sampai malam adalah keputusan terkonyolku dalam kiprah per-horor-an,
namun tetap saja aku dasarnya penakut. Dani hanya terkekeh. Tertawa menang
mengetahui gelagatku yang mulai ketakutan.
“Santai
aja, aku gak nonton film horor. Aku cuman mau nyelsein draftku aja kok. Next
week harus segera ujian.” Tegasnya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Aku
hanya menganggukkan kepala. Mataku rasanya mulai berat. Aku heran. Dari tadi
bahkan mataku sulit sekali terpejam, tapi sekarang rasanya ada batu besar yang
sedang bersarang di mataku. Berat dan
pandanganku mulai gelap.
Aku
tidak ingat apa-apa setelah itu. Aku hanya sempat mendengarkan sayup-sayup lagu
yang sepertinya berasal dari laptop Dani. Setelah itu entah jiwaku berkelana ke
negeri mana. Aku sadar setelah seorang office
boy membangunkanku secara hati-hati dan memberikan isyarat bahwa sebentar
lagi laboratorium tersebut akan segera dia bersihkan. Sambil mengumpulkan
sisa-sisa nyawa karena masih sangat ngantuk, aku mamicingkan mata ketika
mengetahui bahwa aku sedang berselimutkan jaket tebal. Jaket ini bukankah jaket
yang tadi malam dipakai Dani. Lantas, kemanakah perginya pria usil itu?
Kemudian,
aku mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Di kelas Manajemen Mutu
Pangan, Dani tepat duduk di sebelahku. Waktu itu aku sedang tidak enak badan
dan sialnya tempat dudukku sangat dekat dengan AC. Hembusan AC sukses membuatku
menggigil kedinginan. Kemudian Dani melepaskan jaketnya dan memberikannya
kepadaku. Entah saat itu apakah karena aku adalah orang yang tepat duduk di
sebelah Dania atau hanya karena Dani takut disalahkan jika pada akhirnya aku
ditemukan mati kedinginan di ruang kelas itu sehingga dia rela memberikan
jaketnya untukku. Aku tidak paham.
Aku
hanya termangu beberapa saat. Antara sadar dan tidak. Antara senang dan rancu.
Antara berharap dan juga takut terlena. Sejujurnya aku suka dengan cara Dani
memperlakukanku sebagai teman. Dani adalah teman yang baik, walaupun kami sama
sekali tidak pernah akrab. Konyol. Hanya bertemu di moment-moment tertentu. Dan
itu pun bisa dipastika jarang.
Jika
dikatakan aku menyukainya, bisa jadi. Atau, aku yang terlalu percaya diri? Bisa
juga. Aku hanya tidak bisa mengungkapkan sesuatu yang sedang bergulat di dalam
hatiku. Apakah aku menyukainya? Ataukah dia yang menyukaiku? Apakah bisa dua
orang saling menyukai sementara mereka jarang berbagi? Ah, aku lantas menutup
wajahku dengan kedua telapak tanganku dan menjatuhkannya di meja putih tempatku
tertidur semalam.
Sejurus
kemudian aku merasakan ada yang menggenggam tanganku dan menariknya dengan
cepat. Aku menoleh dan melihat sosok Dani. Aku tidak mampu bekata-kata hanya
menganga karena terpesona pada kemeja flannel berwarna abu-abu yang melekat indah
di badannya yang bidang, celana jeans hitam dan jaket jeans yang sengaja
disampirkan di bahu kanannya. Dia sempurna. Atau hanya aku yang mengalami delusi.
Ah entahlah aku tahu sepertinya aku digandeng menuju parkiran mobil. Tanpa
permisi ia langsung memasukkanku ke dalam mobil dan segera menekan stombol
start.
Aku
hanya diam. Tidak mampu berkata-kata. Sangat tidak mampu. Dan lagi-lagi aku
tidak mampu. Aku hanya mampu memandangnya dengan berjuta tanda Tanya tanpa
henti. Setelah mobil yang membawa kami berdua dalam keheningan tersebut keluar
dari kawasan kampus, Dani mulai menunjukkan senyumnya. Lagi-lagi tanpa
menatapku.
“Maaf
lupa mengucapkan selamat pagi, malah langsung menculikmu. Aku tahu kamu sedang
tidak enak badan. Tadi malam badanmu panas. Aku bermaksud membangunkanmu
sebenarnya, tapi tampaknya kamu sedang tertidur pulas. Aku takut menggaggu
tidurmu. Aku antar ke kosanmu, ya. Istirahat, Non.”
Maka,
benarkah semua itu hanya sebuah kebetulan yang mengharapkan pembenaran? Aku hanya
memandang kaca mobil yang basah akibat titik-titik hujan yang mulai berjatuhan.
Dhe
Komentar
Posting Komentar