Langsung ke konten utama

Yet I Lost So Far


Suatu saat nanti, entah kapan, di perputaran waktu bagian apa, aku berharap ada seseorang yang benar-benar membaca blog ini, dan tidak lagi memandangku dengan tatapan aneh seperti di kampus. Itu saja. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk bisa diterima, tetapi setidaknya aku hanya ingin dianggap manusia yang wajar. Terserah mereka mau menganggap aku normal atau tidak. Kupikir setiap orang berhak menilai.
Bagian yang paling tidak aku sukai, ketika aku berjalan di koridor dan semua mata menunjukkan pandangan yang tidak biasa. Anggap saja seperti itu, karena aku sendiri tidak begitu paham gesture dan sejenisnya.
Karena itu, aku lebih memilih sendiri. Sendiri terkadang menjadi pilihan paling masuk akal. Bukan karena aku tidak membutuhkan orang lain, sangat butuh, bahkan saat ini aku hanya butuh pelukan yang tulus. Tidak lebih. Tetapi, aku terlalau introvert dalam dunia nyata, aku lebih suka menuangkan ideku ke dalam tulisan. Bermain dengan fantasiku, mempelajari wine, bernyanyi di kamarku, dan juga sekedar duduk-duduk di emperan toko buku. Aku lebih suka cara yang sederhana.
I Lost
Aku tidak begitu suka terikat. Konsep persahabatan, ah entahlah aku tidak begitu percaya. Aku tidak bisa selamanya percaya kepada manusia. Sejauh yang aku paham, manusia selalu seperti itu. Ingkar. Tidak semua pastinya. Tetapi aku sudah terlalu lelah untuk mencari seorang teman yang “baik”. Sudah bukan saatnya.
Aku selalu khawatir dengan langkahku. Apakah aku melakukan tindakan yang benar. Selama tiga tahun ini, selama aku berada di fakultas ini, benarkah hal ini yang aku inginkan? Pada kenyataannya tidak seperti itu. Aku jauh lebih merasa “bertahan” daripada “menjalani”. Bertahan, terkesan ada sesuatu yang dipaksakan. Memang.
Aku berusaha mencintainya. Sejauh yang aku bisa. Sejauh aku masih mampu bertahan. Tetapi, di persimpangan terakhir aku mulai bimbang. Haruskah aku hentikan di sini? Tidak mungkin sekarang pastinya.  
Sudah terlanjur masuk terlalu dalam jika aku ingin menyerah sekarang. Hahaha, benar-benar tidak ada gunanya. Yang bisa aku lakukan sekarang hanya menikmati sisanya. Semoga saja tugas akhirku segera selesai dan aku bisa mencari “hidup” yang baru dimana lingkungan tidak perlu repot-repot menerimaku.
Dan start from now on, biarlah semua itu menjadi bingkai hidupku. Penghias yang tidak akan pernah bisa aku dekor ulang, karena memang sudah terlambat. Penerimaan menjadi kata pamungkas dalam hal ini.
Sekali lagi kalian tidak perlu repot-repot menerimaku jika memang hal itu tidak berkenan. Dan aku juga tidak akan repot-repot menjadi sesuatu yang kalian harapkan. Ringkas saja. Dan aku hanya perlu meneruskan sisanya, menikmati music klasik di antara tumpukan buku tua, atau berjalan di koridor Mall dimana aku tidak akan dipandang dengan tatapan “lain”.
This is me, anyway.
So, take a peek of your speaker and you’ll see what I mean.
That the other side of the grass is always look greener. 


            -Dhe-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hai Januari

Hai, Januari. Bulan suciku. Bulan dimana aku 22 tahun yang lalu hanya seonggok daging yang bisa jadi dihidupkan. Atau bisa jadi kehidupan itu dibatalkan. Januari berbekas seperti sisi luka yang tidak pernah mereka tahu. Mereka hanya melihat, tidak menatap tajam. Mereka hanya lewat, tidak merapat. Bulan yang penuh hujan air mata. Ah, andai aku bisa membendungnya. Sedikit saja agar mata ini tidak membengkak kemudian mengumbar tanya. Ada apa dengan matamu? Kemudian aku buru-buru membungkusnya dengan kerutan senyum yang aku buat sendiri. Sembari mengucapkan aku tidak apa-apa versiku sendiri. Hai, Januari. Kau ingat lilin yang meleleh di pelataran tart mewah itu? Kau ingat bungkusan indah yang terbalut pita biru muda yang anggun? Aku masih mengingatnya, tetapi seingatku aku telah lama membuangnya. Bagiku semua itu sudah tidak ada pengaruhnya pada hati yang mulai meradang ini. Radangnya sudah bercabang, hingga membentuk kubangan luka yang ku sebut...

It's Just for Nothing

KARENA SEMUA INI PERCUMA. Percuma. Percuma setiap hari aku berharap kau membaca semua tulisanku. Percuma setiap saat aku berharap kau akan sadar bahwa aku ada untukmu. Percuma setip waktu aku berharap kau akan datang kepadaku. Benar-benar payah. Lebih baik aku lepaskan saja sosokmu itu. Yang dahulu merogoh masuk ke dalam jiwaku dan menembus menguliti dinding hatiku yang kelam. Sudah tidak berarti saat ini. Sudah tidak berpengaruh lagi. Hari ini aku putuskan untuk tidak lagi menjadi manusia menyedihkan bernama diriku. Bukankah seharusnya cinta itu diperjuangkan berdua, bukan sendiri? Aku terbahak dalam imajiku sendiri. Mengumpat pasrah tentang paradox rasa yang hingga saat ini masih susah aku cerna. Aku tersedak dalam stigma-stigma yang bahkan aku sendiri tidak paham tentangnya. Aku tersudut di ujung pikiranku yang tumpul. Aku tersisih di penghujung hatiku yang kian membeku.  Aku terbawa arus hingga ke seberang dan aku tidak mampu berenang, pun menyelam. Sem...

Pesan Singkat

12 November 2014 Tuhan, aku malu. Aku malu memandang wajah teduh yang menyilangkan senyum pasi itu. Aku malu melihat senyum yang sebaiknya tidak pernah kulihat itu. Aku terlampau malu hingga aku hanya bisa memandang jari kakiku sendiri. Tuhan, bolehkah aku melihatnya sekali lagi? Sebelum aku mengurung semua uap-uap memoar ini dalam bingkai kenangan? Hari ini aku berpikir kau tidak akan datang. Satu, dua, tiga, dan aku terus menghitung hingga detik ke sekian ribu. Aku masih saja belum mencium aroma tubuhmu. Aku kembali menghitung, dan pada hitungan kesekian aku teringat kembali serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak pernah berubah menjadi kenangan yang hanya akan usang dan berdebu seperti aroma rumah tua yang ditinggalkan penghuninya.  Aku kembali duduk santai di tempat duduk dimana aku mengerjakan tugas akhirku. Ada hasrat menghubungimu, tetapi untuk keperluan apa? Aku bahkan bukan partnermu. Aku hanyalah wanita dengan bol...